Para antropolog menggambarkan bahwa
pelacuran merupakan fakta yang tak dapat dielakkan, karena adanya pembagian peran laki-laki dan perempuan yang sudah muncul pada masyarakat primitif. Tugas perempuan diarahkan untuk melayani kebutuhan seks laki-laki. Para antroplog melihat bahwa pelacuran tidak lepas dari peninggalan masyarakat primitif yang berpola matriarkhi. Sedangkan kaum feminis memandang bahwa pelacuran adalah akibat dari kuatnya sistem patriarkhi. Sementara kaum Marxis melihat pelacuran sebagai akibat yang niscaya dari perkembangan kapitalisme.
Pelacuran Dalam SejarahPelacuran dalam sejarahnya juga bersanding erat dengan kepercayaan keagamaan. Ada istilah "pelacur kuil" (temple prostitutes). Pelacuran model ini ditemukan di pada kebudayaan zaman Babilonia, Mesir Kuna, Palestina Kuna, Yunani, dan Romawi. Para pelacur ini berkeliaran di jalan-jalan dan di kedai-kedai minuman, mencari mangsa laki-laki. Kemudian, penghasilannya diserahkan kepada para pendeta untuk membantu pembangunan kuil. (Ihsan; 2004:130)
Kedudukan pelacur memang naik turun, kata Ihsan selanjutnya (2004:130). Suatu masa, pelacuran ditempatkan tak lebih sebagai perbudakan. Mereka distempel sebagai masyarakat kelas bawah. Biasanya mereka lebih banyak beroperasi di jalan-jalan. Di Yunani, pelacur jalanan disebut pornoi. Masyarakat Yunani Kuna yang merupakan salah satu peradaban purba, jauh-jauh telah mengenal apa yang disebut "pelacuran kuil" –sebuah institusi purba tempat pera pelacur menyumbangkan uang hasil kerjanya untuk kuil Aphrodite demi mendapatkan berkah anugerah dari para dewi. Mereka disebut dengan nama Hierodouli. Kebiasaan-kebiasaan seksual pun telah bertumbuh secara variatif. Mereka telah mempraktikkan gaya-gaya seks seperti vaginal, anal, kontak paha, oral, jilat-jilat klitoris, masturbasi, threesome, gaya 69, sadisme seks, pesta orgi, alat bantu (dildo), dan seks dengan binatang. Demikian juga praktik-praktik seks sesama jenis seperti lesbian dan gay yang dikenal dengan nama pederasta (Ihsan; 2004:14).
Di Romawi, pelacur dianggap penjahat dan pengganggu anak-anak. Di Roma, pelacur diharuskan menggunakan pakaian tertentu untuk membedakan dengan wanita kalangan bangsawan. Lebih ketat lagi, Asysyiria menetapkan pasal hukuman bagi pelacur yang membuka tutup kepalanya sebagai trade mark-nya. Di India Kuna, pelacur rendahan ini disebut khumbhadasi. Pada masyarakat India Kuna, kaum wanita dari golongan rendah hanya diberi dua pilihan, menikah atau menjadi
pelacur. Sementara di Cina, pelacuran sudah mulai ditempatkan di rumah-rumah khusus. Pelacur yang berasal dari golongan rendah disebut wa she. Pada masa Dinasti Han, pelacur golongan ini dirumahkan bersama-sama dengan kelompok penjahat, tahanan perang, dan budak. Demikian halnya pada masa-masa awal masyarakat Islam, munculnya harem juga tak bisa dipisahkan dari pelacuran. Sudah mentradisi, orang-orang kaya biasa membeli ratusan budak wanita untuk dijadikan harem. Walaupun pelacuran jelas-jelas dilarang dan pemerintah memiliki muhtasib, polisi susila, diam-diam para budak wanita banyak yang dipekerjakan menjadi pelacur (Ihsan; 2004:131).
Pelacur tidak selamanya dipandang sebagai profesi rendahan Dalam beberapa bangsa dahulu, pelacur justru menempati kedudukan terhormat. Pelacur terhormat ini memberikan pengaruh yang mendalam terhadap politik, seni, sumber inspirasi puisi, dan mode pakaian. Mereka datang dari kelas atas dan menengah. Mereka memilih profesi pelacur, karena waktu itu profesi ini menjadi satu-satunya jalan terbaik untuk meraih kekayaan dan gengsi sosial dalam masyarakat yang dikuasasi oleh kaum laki-laki. Mereka wanita terdidik dan mempunyai fungsi sosial yang besar, di saat kaum wanita dibatasi tinggal di rumah dan tidak diberi tempat dalam ruang publik.
Menurut Ihsan, (2004:132) pada zaman Babilonia, dikenal nama Kizrete yang disanjung-sanjung sebagai selir terhormat. Cerita-cerita rakyat mengisahkan pelacur terhormat ini juga mewarnai masyarakat Mesir Kuna. Tetapi, di antara bangsa-bangsa Kuna, hanya pada masa Yunanilah pengakuan tertinggi disematkan bagi pelacur. Oleh masyarakat Yunani Kuna, mereka mendapat julukan hetaerae. Di antara hetaerae yang terkenal di masa itu, Thargelia dari Ionia, Aspasia dari Athena, Sang Pecinta dari Perikles, dan Thais dari Athena. Thais dari Athena ini pernah diperistri oleh Alexander Agung. Setelah itu diambil alih oleh Ptolomeus, raja Mesir Kuna, dan dinobatkan sebagai permaisuri.
Hetaerae juga muncul pada masyarakat Muslim zaman dahulu, kata Ihsan (2004:132-133). Mereka biasanya berperan sebagai penghibur dan kebanyakan berasal dari luar daerah Muslim. Laki-laki yang ingin berhubungan dengan hetaerae harus melalui penghubung dan disewa untuk memberikan pelayanan seksual. Puisi-puisi cinta yang beredar di Timur-Tengah waktu itu banyak yang dikumandangkan untuk menghormati hetaerae ini. Demikian juga bangsa-bangsa seperti India, Cina, dan Jepang juga mengenal penyanjungan terhadap profesi pelacur terhormat ini. Di Jepang populer dengan istilah geisha.
Pada masa abad pertengahan, hetaerae paling terkenal adalah Ratu Theodora yang mengubah larangan hak milik bagi pelacur serta membangun penampungan bagi pelacur yang ingin meninggalkan profesinya.Di Venesia, Italia, tercatat nama Veronica Franco yang juga berhasil membangun tempat penampungan bagi pelacur pada 1577 M (Ihsan; 2004:133).
Secara historis, para pelacur berpindah bersama para tentara dan kelompok pekerja ke wilayah-wilayah di mana persediaan wanita sangat terbatas. Di lokasi tersebut para pelacur melakukan pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan, sekaligus membantu kegiatan seks laki-laki. Beberapa bukti menunjukkan, pada awal-awal berdirinya Amerika Serikat, para pelacur datang dari masyarakat kelas bawah. Namun saat ini, pelacur yang berasal dari kelas menengah maupun dari kelas atas sudah biasa. Sejarah ini menjadi karakteristik zaman Viktoria pada saat perempuan ditempatkan dalam kategori sempit, baik atau buruk, dan pada saat itu kaum laki-laki menggunakan double standard dalam seks akibat terlalu dominannya peran laki-laki. Dalam lingkup kultur yang lain, pelacur berasal dari semua kelas. Di antara mereka bahkan menempati kelas sosial yang relatif tinggi, seperti hetaerae dalam Yunani kuna, devadasis di India, dan geisha di Jepang. Meskipun ada pelacur yang ditempatkan dalam kelas yang demikian, pada umumnya mereka berasal dari kelas bawah (Schafer, S. et al.: 1975:43).
Menurut Schafer (1974:43), di Amerika Serikat, pelacuran tidak pernah diterima oleh masyarakat, demikian pula di negara-negara lain. Perlawanan terhadap pelacuran dilakukan secara besar-besaran di AS hingga usai Perang Dunia I, untuk menghindari kekhawatiran wabah sekaligus memprotes perang. Namun perlawanan ini kemudian dioperasi dengan dilakukan penjagaan polisi, meski itu di luar hukum yang berlaku. Pada suatu waktu, saat Wali Kota Chicago dijabat William Hale Thompson, para operator sekitar 2.000 bordil membayar polisi penjaga bordil 100 hingga 750 dolar AS perminggu. Bagaimanapun, dengan meningkatnya penyebaran wabah, investasi di rumah-rumah pelacuran semakin menurun.
Selama Perang Dunia II, sekitar 600.000 pelacur bersama jumlah yang sama dari wanita yang siap menjadi pelacur secara part timer diterjunkan. Lalu berapa jumlah pelacur di AS yang sekarang ini beroperasi, tidak diketahui. Bahkan seiring dengan iklim semakin bebasnya hubungan seks, dengan sendirinya kebutuhan pelacur menurun secara tajam. Meskipun para pelacur secara resmi tidak didukung pemerintah, angkatan bersenjata AS diajarkan bagaimana melindungi dan terbebas dari penyakit kelamin. Sebuah studi tentang penyakit kelamin di kalangan tentara AS di Eropa setelah Perang Dunia II menguak, rumah pelacuran yang mendapatkan izin menjadi sumber penyebaran infeksi GI, penyakit kelamin. Laporan lain mencatat bahwa 6% anggota tentara AS yang mengidap infeksi VD, diakibatkan melakukan hubungan seks dengan pelacur profesional, 80% akibat berhubungan dengan pelacur amatir, dan 14% lainnya disebabkan oleh istri-istrinya. Karena berbagai penyakit ini menyebabkan para tentara tidak bisa maju ke medan tempur, para petugas kesehatan ketentaraan AS merekomendasikan melakukan operasi rumah-rumah pelacuran secara kemiliteran sebagai bagian dari sistem operasi Post Exchange (PX) (Schafer, 1974:44).
Menurut Truong (1992:147), prostitusi semula merupakan subjek pinggiran. Pelacur bergerak ke daerah pusat politik seksual internasional dengan bangkitnya gerakan menentang rumah-rumah bordil berlisensi dan "perdagangan budak kulit putih". Pencabangan dari gerakan pemurnian sosial yang lahir di akhir abad XIX di Barat (Inggris, Viktorian, Belanda, Kerajaan Jerman, dan Amerika Serikat), gerakan menentang perbudakan kulit putih diformalkan di tahap global sebagai The International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih) pada 1904, serta The International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih) pada 1910.
Gerakan ini mengerangkai isu pelacuran dalam konteks kejahatan perdagangan, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional (Chauvin, 1982). Pada mulanya gerakan tersebut menaruh keprihatinan terhadap para perempuan Barat yang diperdagangkan antara negara-negara Eropa Barat dengan Amerika Serikat, dan dari negara-negara ini ke wilayah-wilayah jajahan. Namun demikian, pengamatan terhadap situasi yang berlangsung di wilayah jajahan secara tak terelakkan mengakibatkan lahirnya toleransi terhadap pelacuran dan rumah bordil berlisensi dalam wilayah jajahan oleh pemerintah kolonial yang sedang mengalami serangan. (Truong; 1992:147-148)
Pada bagian lain, Truong mengemukakan, sebuah kajian lintas bentuk-bentuk intervansi negara dalam
pelacuran terorganisasi di Asia Tenggara dan wilayah-wilayah lainnya menunjukkan bahwa intervensi negara dalam reproduksi lahir ketika peningkatan mobilitas geografis manusia (urbanisasi, migrasi, militerisasi, perdagangan) mendislokasikan hubungan-hubungan ikatan manusia. Hubungan-hubungan ini digantikan berbagai hubungan baru, yang menciptakan bentuk-bentuk baru hubungan seksual, hasrat dan signifikansi sosial yang diatur oleh hukum pasar. Sebagai hasilnya sahabat anehdidunia.com, keragaman wilayah tercipta melalui mana aspek-aspek sosial dan biologis reproduksi diorganisasikan, dengan berkaitan pada struktur kelas dan kadangkala etnik. Bergantung pada corak rumah tangga, komunitas dan negara, tugas-tugas biologis dapat bersifat integral atau terpisah dari tugas-tugas sosial reproduksi (Truong; 1992:340-341).
Dalam kasus Muangthai, (Truong: 1992:246), ditemukan bahwa di luar gambaran umum turisme, terdapat sejumlah faktor tambahan yang berperan dalam peleburan sistematis pelayanan seksual ke dalam jasa turisme. Ini mencakup karakter hubungan gender yang berakar dalam agama dan struktur kelas serta situasi geo-politik spesifik Asia Tenggara pada periode 1960-an. Penghukuman legal terhadap pelacur hadir hampir-hampir serentak dengan formalisasi legal industri hiburan, akibat kebijakan investasi yang ditujukan untuk menangkap pasar "rest and recreation" semasa konflik Indocina. Dualitas antara pengakuan dan pengingkaran terhadap pelacuran, digandakan dengan kedatangan masif tentara tentara AS, berakibat pada menjamurnya beragam bentuk pelacuran tersamar di dalam industri hiburan. Praktik-praktik ad hoc penyediaan pelacuran perlahan-lahan menjadi sistematis sebagai hasil dari tingginya tingkat akumulasi modal.
Basis industri dan pola ketenagakerjaan yang diciptakan semasa periode ini mendapat pukulan hebat ketika tentara AS menarik diri dari Indocina. Lebih jauh lagi, efek turisme Rest and Recreation terhadap anggaran pembelanjaan adalah sangat substansial sehingga ketika pasar ini menyurut, alternatif harus segera ditemukan untuk mempertahankan pengoperasian infrastruktur turisme dalam rangka mengejar pengembalian modal dan keuntunga. (Truong, 1992:346).
Kombinasi dari berbagai kepentingan bersama ini mendorong perusahaan-perusahaan untuk meleburkan berbagai pelayanan seksual ke dalam proses produksi yang sangat terorganisasi dengan beragam titik distribusi pada tingkat internasional. Yang paling penting di antaranya adalah tumbuhnya turisme seks kolektif melalui agen penyelenggara tur yang dibeli oleh individu, kelompok, atau perusahaan transnasional sebagai bonus tambahan bagi karyawannya. Ini menunjukkan bahwa terdapat proses berkelanjutan akumulasi modal langsung dalam wilayah reproduksi (pemeliharaan dan pembaharuan kapasitas bekerja manusia) pada skala luas. Dalam kaitan ini, adalah relevan untuk menunjukkan bahwa bentuk paling kental dari jasa reproduksi di bawah hubungan komersial, yakni tur paket seks, mencerminkan sebuah kontradiksi dalam internasionalisasi pembangunan kapitalis. Adalah melalui proses pembangunan kapitalis hubungan-hubungan kekerabatan diberaikan dan selanjutnya jasa-jasa reproduktif difragmentasikan dan dileburkan ke dalam hubungan pasar. Melalui pembangunan kapitalis pula reintegrasi jasa-jasa reproduksi dapat berlangsung sepenuhnya di bawah hubungan pasar.
Semoga artikel menarik tentang sejarah profesi pelacuran dunia ini menambah wawasan anda sahabat anehdidunia.com serta berguna bagi anda. tetap kami tekankan agar selalu menggunakan kebijaksanaan anda dalam membaca artikel artikel dari kami. Gudday
Belum ada komentar untuk "Sejarah Profesi Pelacuran Dunia"
Post a Comment